My Diary Chapter 6 : Tentang Gunung dan Lautan

My Diary Chapter 6 : Tentang Gunung dan Lautan

Hai,
Kamu apa kabar? Iya, kamu. Siapa lagi yang selalu aku tunggu kabarnya selain kamu? Rasanya aneh memang, menuliskan sapaan ini di halaman kosong, seolah kamu sedang duduk di hadapanku, padahal nyatanya aku sedang sendiri. Tapi bukankah itu yang selalu aku lakukan? Menghadirkanmu dalam sepi, seakan jarak yang kita punya bisa diretas hanya dengan kata-kata.

Weekend ini jalan-jalan ke mana kamu? Aku masih menebak-nebak, mungkin ke pantai lagi, atau sekadar menikmati mentari yang jatuh di bibir ombak. Kamu tahu, aku selalu iri dengan laut yang bisa kamu datangi kapan saja. Sedangkan aku, di sini, di kota yang dikelilingi pegunungan, harus puas dengan biru langit yang kadang samar. Pantai? Ada, tapi jauh, butuh waktu dan tenaga untuk bisa merasakannya. Jadi, aku lebih sering berteman dengan bukit, dengan jalur pendakian, dengan udara tipis yang membawaku ke puncak.

Baca Juga : My Diary Chapter 5 : Sebuah Perenungan

Hari ini aku lari lagi. Olahraga murah, katanya. Benar juga sih, aku hanya butuh sepatu, jalur, dan tekad. Minggu lalu aku hanya sampai 15 km, tapi hari ini aku berhasil mencapai 23 km. Jangan salah sangka dulu, 5 km pertama aku lari terus, sisanya ya lari-jalan-lari-jalan. Namanya juga manusia, ada batasnya, ada capeknya. Kadang aku bertanya-tanya sendiri, untuk apa aku memaksakan langkah sejauh itu? Tapi entah kenapa, setiap kali aku berlari, aku merasa seperti sedang mengejarmu—meski kamu entah ada di mana.

Kalau ada yang bertanya aku lari sama siapa, aku jawab sendirian. Memang sendirian. Mau ngajak siapa coba? Kamu? Ah, kalau bisa, tentu aku ingin kamu ada di sampingku. Bayangkan, kita berlari berdua, lalu berhenti sejenak hanya untuk tertawa karena kelelahan, atau sekadar saling memberi botol minum. Tapi ya sudah, semua itu masih sebatas bayangan. Dan aku? Aku harus puas berlari sendirian sambil membayangkan kamu ikut dalam ritme nafasku.

Kamu pernah sadar nggak? Kita ini seperti gunung dan lautan. Aku yang di sini, kamu yang di sana. Jauh, bahkan seolah mustahil untuk bersatu. Gunung berdiri kokoh, tinggi, angkuh, menembus awan, sementara lautan membentang luas, dalam, penuh rahasia yang tak pernah habis dijelajahi. Tapi, meski jauh, aku percaya ada cinta yang tumbuh dalam sunyi.

Baca Juga : My Diary Chapter 4 : Jejak Kaki di Kota Malang

Gunung, diam-diam selalu menatap laut dari kejauhan. Ia iri pada kebebasan ombak yang bisa menari tanpa henti, pada biru yang tak pernah pudar meski waktu terus berputar. Dan laut? Ia diam-diam jatuh cinta pada gunung yang teguh, pada kokoh yang tak pernah runtuh meski badai menerpa. Mereka tidak bisa bersatu, tapi mereka saling kirim cerita.

Setiap sungai yang mengalir dari kaki gunung adalah surat cinta kecil, pesan rindu yang diselipkan dalam tetes air. Dan laut, dengan sabar, menerima semua itu. Ia menyimpannya, memeluknya, lalu mengirimkan kembali lewat angin, awan, hingga hujan yang turun di puncak gunung. Seakan berkata: “Aku juga mencintaimu, dengan caraku sendiri.”

Dan aku, setiap kali membayangkan itu, merasa seakan kita sedang menjalani takdir yang sama. Aku di sini, kamu di sana, dipisahkan oleh jarak, tapi tetap saling mengirim tanda. Entah lewat kata-kata, entah lewat doa yang diam-diam kita titipkan dalam diam.

Kadang aku berpikir, kenapa harus begini? Kenapa cinta harus seperti gunung dan laut yang tahu tak akan pernah bersatu tapi tetap saling mencari? Lalu aku sadar, mungkin justru di situlah letak keindahannya. Bukankah cinta yang tidak pernah usai justru yang paling abadi?

Baca Juga : My Diary Chapter 3 : Tentang Kota Malang

Aku sering membayangkan, kalau aku adalah gunung, maka setiap keringat yang jatuh saat aku berlari adalah aliran sungai kecil yang akhirnya mencari jalan menuju laut. Itu artinya, setiap langkahku adalah cara lain untuk mendekatimu, meski kita sama-sama tahu aku takkan pernah benar-benar sampai. Tapi biarlah, selama aku masih bisa berlari, selama aku masih bisa menuliskan namamu di sela nafas yang terengah, aku akan terus merasa dekat denganmu.

Ada satu hal yang tidak pernah kuberitahu padamu: setiap kali aku lelah, aku menutup mata dan membayangkan wajahmu. Anehnya, rasa sakit di kaki atau dada yang sesak itu tiba-tiba jadi ringan. Seolah-olah kamu adalah energi yang tidak pernah habis, sumber semangat yang bisa menyalakan api bahkan di tengah dinginnya malam.

Kamu tahu, aku kadang iri pada hujan. Ia bisa menyapa gunung dan laut sekaligus, bisa jatuh di puncak dan juga di permukaan biru yang luas. Ia adalah jembatan sementara, penghubung singkat yang meski sebentar, tapi nyata. Aku ingin menjadi hujan, agar aku bisa sampai padamu tanpa peduli seberapa jauh jarak memisahkan. Tapi aku tetaplah gunung, yang hanya bisa menitipkan rinduku pada aliran air yang entah kapan akan tiba di pelukanmu.

Baca Juga : My Diary Chapter 2 : Berbagi Cerita

Lalu aku ingat satu hal: cinta gunung dan laut tidak butuh jawaban. Ia hanya butuh kesabaran. Mereka tidak pernah bertemu, tapi selalu saling tahu. Mereka tidak pernah menyatu, tapi justru abadi lewat siklus alam. Dan mungkin, begitu juga kita. Tidak perlu bertanya apakah semua ini akan sampai, tidak perlu mencari tahu kapan kita bisa bertemu. Karena yang penting adalah kita saling menjaga rasa, meski lewat jarak, meski lewat waktu.

Hari ini, setelah selesai berlari, aku duduk lama di pinggir jalan. Nafasku masih berat, keringatku jatuh deras, tapi di dalam hati aku merasa tenang. Aku menatap langit yang perlahan memerah jingga mulai cerah, lalu tersenyum kecil. Ah, mungkin di sana, di tempatmu, langit juga berwarna sama. Mungkin kita sedang menatap Mentari pagi yang sama, hanya dari sudut yang berbeda.

Aku menulis semua ini bukan untuk mengharapkan balasan. Aku menulis karena aku ingin mengabadikan rasa. Sama seperti gunung yang tidak pernah bosan mengirim sungai ke laut, aku pun tidak pernah bosan menulis untukmu. Biarlah kata-kata ini jadi sungai kecil, mengalir tanpa henti, sampai akhirnya menemukan lautmu.

Baca Juga : My Diary Chapter 1 : Titipan Rindu Dari Kota Malang

Dan jika suatu saat kamu membaca ini, aku ingin kamu tahu: aku tidak pernah lelah mencintaimu, meski dengan caraku sendiri. Seperti gunung yang berdiri kokoh, aku akan tetap ada di sini, menunggu, menjaga, dan mencintai dalam diam. Karena cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah tentang bertahan, tentang percaya, dan tentang melepaskan dengan lapang dada.

Malam ini, sebelum aku menutup buku diary ini, aku ingin menuliskan satu kalimat terakhir: “Jika aku adalah gunung dan kamu adalah laut, maka biarkan cinta ini tetap abadi dalam jarak. Karena meski kita tak pernah bersatu, kita selalu terhubung lewat alam semesta.”

Namun besar harapanku, suatu saat nanti kita bisa bersama, tanpa ada lagi jarak, tanpa ada lagi perpisahan. Seperti hujan yang akhirnya jatuh untuk menyatukan bumi dengan langit, aku pun ingin suatu saat tak lagi hanya mengirim rindu lewat kata-kata, melainkan benar-benar menatapmu, meraihmu, dan menjagamu.

Malang, 7 September 2025

GALERI

Share this content:

Hanya pengagum pena dan aksara, menelusuri jejak makna dalam setiap kata. Menyukai sunyi yang berbicara lewat tulisan, tanpa ambisi, hanya ingin merasa dekat dengan cerita.

Post Comment