Fiksi
Prosa
Catatan Perasaan, Catatan Pribadi, Cerita Inspiratif Lari, Cerita Lari Jarak Jauh, Diary Harian, Edelweiss, Kilometer Rindu, Kisah Cinta Jarak Jauh, Kisah Rindu, Kota Batu, Lari Malang Batu, Lari Sejauh 33 Km, Lari Ultra Marathon, Monolog Pria, Perjalanan Hati, Rindu Mendalam, Story Edelweiss
Admin
0 Comments
My Diary Chapter 7 : Kilometer Rindu
Hai…
Hari ini aku nulis lagi, dan seperti biasa, kamu jadi alasan kenapa aku membuka halaman kosong ini. Kamu apa kabar hari ini? Jalan-jalan kemana lagi nih? Aku tebak, pantai lagi, ya? Aku bisa bayangin kamu duduk di tepi pasir, Ujung-ujung jilbabmu mungkin ikut menari bersama angin, sambil sesekali mengangkat kamera ponselmu, menangkap Mentari pagi yang malu-malu untuk muncul. Ugghh, aku kangen banget sama kamu, tau. Kangen yang rasanya kayak debu menempel di dada, nggak kelihatan, tapi bikin sesak. Kamu nggak kangen aku juga kah? Atau aku cuma jadi bayangan samar di antara hari-harimu yang sibuk?
Hari ini aku lari lagi, hehehe. Lari itu udah jadi rutinitas yang anehnya bikin aku candu, meski tiap selesai rasanya pengen pingsan di jalan. Capek banget, sumpah. Jalurnya tuh naik turun kayak rollercoaster, bikin napas kayak dikejar-kejar utang wkwkwk. Aku sampai mikir, kenapa sih aku tega banget nyiksa diriku sendiri kayak gini? Tapi entah kenapa, setiap kali keringat jatuh satu-satu dari dahiku, aku merasa ada sesuatu yang lepas. Kayak beban yang nggak bisa aku ceritain sama orang lain, diam-diam hilang bersama langkah-langkahku. Kaki pegel, betis nyut-nyutan, rasanya kayak olahraga satu jam tapi bonusnya kram seminggu, wkwkwk.
Baca Juga : My Diary Chapter 6 : Tentang Gunung dan Lautan
Seperti minggu lalu, minggu ini aku bagi dua sesi juga. Yang pertama lari 5 km, tapi pace-ku ambyar. Biasanya bisa pace 7, eh kali ini malah 8:23. Aku sempet kesel sama diriku sendiri, tapi terus aku mikir: mungkin jalannya nanjak, mungkin memang tubuhku lagi nggak sekuat itu hari ini. Atau mungkin… aku yang emang lemah. Hahaha. Tapi yaudahlah, toh di setiap pelarianku, aku belajar satu hal: perjalanan nggak harus selalu cepat, yang penting terus bergerak.
Aku start seperti biasa dari Lowokwaru, tempat aku tinggal. Melewati Dinoyo, terminal Landungsari, dan sampai 5 km-an itu di sekitar kampus UMM. Di sana aku istirahat sebentar, sambil liatin orang-orang yang lalu lalang. Rasanya aneh, di tengah keramaian, aku merasa sendirian—tapi sendirian yang justru bikin aku damai. Lanjut lagi aku jalan-lari sampai ke alun-alun kota Batu. Udara di sana dingin, bikin paru-paru kayak dipeluk kabut tipis. Aku duduk sebentar di bangku taman, minum air, sambil ngerasa kalau dunia ini lebih luas daripada rasa capekku. Tapi saat aku duduk di situ, entah kenapa, kepalaku langsung teringat kamu. Andai aja kamu ada di sebelahku, mungkin aku nggak cuma diam bengong ngeliatin langit, tapi bisa cerita banyak hal ke kamu, dari hal remeh sampai yang paling rahasia.
Setelah istirahat sebentar, aku lanjut pulang lewat Pandanrejo, ngelewatin Baloga—atau orang-orang suka nyebutnya Batu Love Garden—terus lurus ke arah Karangploso, masuk lewat Arhnud, sampai ke belakang kampus UMM, lalu finish di lapangan Merjosari. Dan dari situ pulang ke rumah. Totalnya hari ini… 33,34 km. Bayangin, tiga puluh tiga kilometer lebih! Hahaha. Kaki rasanya mau copot, jujur. Aku bahkan sempat mikir: “Ngapain sih aku lari sejauh ini? Emang ada yang nyuruh?” Tapi ya, ada satu hal yang nggak bisa aku dustain: setiap kilometer itu, ada wajahmu yang diam-diam ikut berlari di dalam kepalaku. Mungkin itu sebabnya aku bisa sampai sejauh ini, meski sebenarnya fisikku udah teriak-teriak minta berhenti.
Baca Juga : My Diary Chapter 5 : Sebuah Perenungan
Kalau kamu sendiri hari ini kemana? Di rumah aja jaga toko? Atau ke pantai lagi? Aku tuh selalu penasaran, seberapa sering kamu mengulang langkah-langkahmu sehari-hari, seberapa banyak senyum kecil yang mungkin nggak aku lihat. Tadi sih aku sempat lihat kamu, walau cuma sebentar. Kebetulan temenmu si RA itu lagi live di toko kamu. Aku lihat kamu lewat, cuma sekilas. Kamu duduk di bawah, nggak lama setelah itu. Aku nungguin kamu muncul lagi di layar, tapi ternyata kamu nggak lewat-lewat lagi. Dan anehnya, cuma dengan lihat kamu sekilas gitu aja, rasanya udah cukup bikin dadaku anget. Kayak hujan kecil yang jatuh di musim kemarau panjang.
Aku sadar, aku memang sebegitu kangennya sama kamu. Kangenku nggak bisa diukur dengan jarak kilometer lari yang aku tempuh. Kangen ini lebih panjang, lebih melelahkan, lebih nggak ada garis finish-nya. Kalau lari 33 km aku bisa istirahat, bisa berhenti, bisa tidur sampai kaki pulih. Tapi kangen ini? Aku bahkan nggak tau kapan bisa reda. Rasanya seperti berlari dalam lingkaran, terus dan terus, tanpa pernah menemukan ujung.
Kadang aku iri sama udara. Udara bisa nyentuh kamu kapan pun, bisa mengelilingimu tanpa kamu sadari, bisa jadi alasan kenapa kamu bisa bernapas lega. Sementara aku? Aku cuma bisa ada jauh di sini, nulis kata demi kata, berharap satu di antaranya bisa sampai ke hatimu. Aku juga iri sama pantai, yang berkali-kali jadi tempat kamu pulang, tempat kamu senyum lepas, tempat kamu berdiri menatap cakrawala. Aku pengen sekali aja, jadi pasir yang bisa kamu injak, atau ombak yang bisa menyapu kakimu, atau sekadar angin asin yang bisa nempel sebentar di wajahmu.
Baca Juga : My Diary Chapter 4 : Jejak Kaki di Kota Malang
Kangenku tuh lucu, kadang nyebelin. Kayak anak kecil yang nggak mau berhenti nangis meski udah dikasih permen. Aku coba alihkan ke lari, ke kerja, ke tidur, tapi selalu balik lagi ke kamu. Dan setiap kali aku nulis gini, aku sadar: aku nggak butuh obat buat sembuhin kangen ini. Aku cuma butuh kamu. Sesederhana itu.
Aku nggak tau kamu sadar atau nggak, tapi dalam setiap langkahku di jalan-jalan panjang yang aku tempuh hari ini, aku selalu nyebut namamu dalam hati. Seperti doa yang nggak pernah aku lantunkan dengan suara keras, tapi terus mengalir diam-diam, tanpa jeda. Kadang aku mikir, apa kamu pernah merasakan sesuatu? Seperti tiba-tiba dadamu hangat, atau senyummu keluar tanpa sebab? Kalau iya, mungkin itu artinya doa-doaku nyampe.
Hari ini aku lelah, tapi lelah yang indah. Karena aku tau, di balik setiap rasa sakit di kaki, ada kamu yang diam-diam jadi semangatku. Dan meski aku cuma bisa lihatmu sebentar lewat layar live orang lain, itu cukup buatku bertahan. Malam ini aku nulis ini dengan senyum kecil, karena setidaknya, aku pernah lihat kamu hari ini.
Dan besok… entah aku akan lari sejauh apa lagi. Tapi satu yang pasti, aku akan selalu kembali ke satu titik finish: kamu.
Minggu, 14 September 2025


















Share this content:
Post Comment