Fiksi
Prosa
Alun Alun Malang, Balaikota Malang, Car Free Day Malang, Catatan Perjalanan Malang, Edelweiss, Jalan Kaki Malang, Jalan Kaki Minggu Pagi, Jalan Kaki Sehat, Jelajah Kota Malang, Kampung Warna Warni Malang, Kayutangan Heritage, Olahraga Pagi Malang, Stasiun Malang, Story Edelweiss, Wisata Kota Malang, Wisata Malang, Wisata Murah Malang
Admin
0 Comments
My Diary Chapter 4 : Jejak Kaki di Kota Malang
Story Edelweiss – Hai, hari ini aku kembali menulis sesuatu yang mungkin, kalau kamu yang baca, akan terlihat biasa saja, bahkan bisa jadi sama sekali tidak menarik. Tapi tak apa, aku tidak menulis untuk menghiburmu, aku menulis untuk menghibur diriku sendiri. Aku menulis karena ingin mengabadikan momen yang sekilas tampak remeh, namun bagiku tetap punya arti. Bukankah hidup memang tersusun dari kepingan-kepingan remeh yang kita rawat dengan sepenuh hati? Mungkin inilah salah satunya.
Hari ini minggu. Biasanya orang-orang mengisinya dengan agenda besar—pergi jauh, bertamasya, atau sekadar berkumpul dengan keluarga. Minggu lalu aku bahkan sempat ke Bromo, menjejak di atas awan, menatap matahari yang lahir dari balik bukit, dan merasakan bagaimana semesta ini begitu luas, sementara aku hanyalah titik kecil yang tak berarti. Tapi minggu ini berbeda. Tak ada perjalanan jauh, tak ada lautan kabut atau deretan gunung yang berbaris gagah. Minggu ini aku memilih untuk tetap dekat, hanya berkeliling kota Malang. Namun, kali ini tanpa kendaraan. Tidak ada sepeda motor, tidak ada sepeda kayuh, tidak ada ojek yang bisa meringankan langkahku. Hanya aku, sepasang kaki, dan niat sederhana untuk menelusuri kota dengan berjalan kaki.
Baca Juga : My Diary Chapter 3 : Tentang Kota Malang
Mungkin ada yang bilang ini aneh, buang-buang tenaga, atau malah menyiksa diri. Tapi entah kenapa aku menyukainya. Ada sesuatu yang berbeda ketika kaki menjadi satu-satunya moda transportasi. Rasanya aku benar-benar hadir di kota ini, merasakan setiap denyutnya, menghirup udara yang mengalir di antara gedung, pepohonan, dan jalanan yang penuh cerita. Kalau kata orang mah, ini olahraga. Tapi kalau menurutku, ini lebih dari sekadar olahraga. Ini perjalanan batin, semacam meditasi dengan langkah kaki sebagai mantranya.
Pagi itu, udara terasa sejuk. Tidak terlalu dingin seperti hari-hari sebelumnya, tapi juga tidak gerah. Malang selalu punya wajah pagi yang ramah, seperti senyuman seorang teman lama yang menenangkan. Aku mulai berjalan sekitar pukul 05:30. Jalanan masih lengang, suara motor hanya sesekali lewat, burung-burung baru saja memulai kicauannya, dan sinar matahari masih malu-malu menembus celah pepohonan. Di momen itu aku merasa menjadi bagian kecil dari tarian besar kehidupan—semua bergerak, semua hidup, dan aku hanya mengalun mengikuti.
Langkah pertamaku dimulai dari Ketawanggede, tempat aku tinggal. Dari sana aku menelusuri jalan menuju Sutami. Jalan ini sudah terlalu sering kulewati, tapi kali ini rasanya berbeda. Ketika berjalan kaki, aku menemukan detail kecil yang sering terlewat jika naik motor. Pohon tua di pinggir jalan yang rantingnya membentuk semacam kanopi alami, mural di dinding warung kopi yang entah sejak kapan ada, dan wajah-wajah orang yang baru membuka kios kecil mereka. Semua itu seakan bercerita, bahwa kota ini punya denyut kehidupan yang mungkin tak pernah aku perhatikan sebelumnya.
Baca Juga : My Diary Chapter 2 : Berbagi Cerita
Perjalanan terus berlanjut ke arah Ijen, kawasan yang selalu ramai kalau hari Minggu karena ada Car Free Day. Benar saja, semakin siang, semakin banyak orang yang datang. Ada yang jogging, ada yang jalan santai bersama keluarga, ada pula yang sibuk berfoto di bawah deretan pohon palem yang berbaris rapi seperti prajurit yang sedang menjaga gerbang kota. Aku berjalan perlahan, mencoba menyerap semua energi yang ada di sana. Bau jajanan khas CFD mulai tercium, suara anak-anak berlarian, hingga musik yang diputar dari pengeras suara komunitas dance di pojokan jalan. Semua itu membaur, menciptakan simfoni khas pagi di kota Malang.
Dari Ijen, aku melanjutkan langkah ke Alun-Alun. Tempat itu selalu punya daya tarik sendiri. Entah karena taman yang asri, pohon beringin yang megah, atau sekadar merpati yang beterbangan mencari remah roti. Ada ketenangan sekaligus keramaian di sana. Aku duduk sebentar, mengamati orang-orang berlalu-lalang. Ada pasangan muda yang berfoto, ada orang tua yang berjalan pelan sambil menggandeng cucunya, ada juga pedagang asongan yang tidak pernah lelah memanggil pembeli. Di titik itu aku sadar, setiap langkah kakiku seolah membawaku semakin dekat dengan denyut nadi kehidupan kota ini.
Aku melanjutkan perjalanan ke Kampung Warna-Warni, sebuah kawasan yang dulu kumuh, tapi kini jadi ikon wisata. Dinding-dinding rumah dicat dengan warna-warna cerah, jembatan kaca berdiri sebagai penghubung, dan sungai yang mengalir di bawahnya menjadi saksi bisu perubahan. Aku melangkah pelan, membiarkan mataku dimanjakan oleh kombinasi warna yang riuh. Rasanya seperti masuk ke dalam kanvas seorang pelukis gila yang tidak takut mencampur paletnya.
Baca Juga : My Diary Chapter 1 : Titipan Rindu Dari Kota Malang
Tak terasa aku sampai di Stasiun, lalu Balaikota, lalu Bundaran Kayutangan yang kini sudah ditata lebih modern. Jalanan Kayutangan, dengan lampu-lampu antiknya dan bangunan kolonial yang berdiri kokoh, selalu punya daya tarik nostalgis. Seakan-akan aku berjalan menembus waktu, masuk ke masa lalu tapi tetap berada di masa kini.
Perjalanan berlanjut ke Penanggungan, lalu Suhat, hingga akhirnya aku kembali ke titik awal di Ketawanggede. Total jarak yang kutempuh, menurut Strava, adalah sekitar 15 kilometer dengan waktu hampir 3 jam. Anehnya, sepanjang perjalanan tubuhku tidak merasa lelah. Bahkan hingga pukul 9 pagi, aku belum berkeringat banyak. Barulah setelah sinar matahari semakin menyengat, tubuhku mulai basah oleh keringat. Tapi aku menikmatinya. Keringat itu seperti medali kecil yang diberikan tubuhku sebagai tanda keberhasilan menaklukkan perjalanan.
Sesampainya di rumah, aku beristirahat sebentar, lalu tertidur. Namun begitu bangun, rasa pegal mulai menyapa. Kaki yang tadinya gagah melangkah kini protes dengan nyeri halus yang menjalar. Tapi aku tidak kapok. Rasa pegal itu justru menjadi bukti nyata bahwa aku benar-benar menjalani hari ini dengan penuh kesadaran, bukan sekadar lewat begitu saja.
Minggu depan, aku belum tahu mau ke mana lagi. Mungkin masih di kota ini, atau mungkin keluar sedikit mencari udara baru. Tapi yang jelas, perjalanan hari ini membuatku sadar bahwa kebahagiaan tidak selalu harus dicari jauh-jauh. Kadang, ia bersembunyi di balik langkah-langkah sederhana yang kita ambil. Seperti kota Malang yang kutelusuri hari ini—aku tidak menemukan hal baru yang spektakuler, tapi aku menemukan diriku sendiri di dalam setiap langkah.
Kadang aku bertanya-tanya, mengapa aku begitu menikmati hal sederhana seperti ini. Mungkin karena aku percaya, hidup tidak harus selalu berlari mengejar sesuatu yang jauh. Hidup bisa dinikmati dengan berjalan perlahan, meresapi setiap sudut, memberi ruang pada hati untuk beristirahat dari hiruk pikuk.
Hari ini, aku belajar bahwa setiap jejak kaki adalah doa yang membumi. Setiap langkah adalah pengingat bahwa aku masih hidup, masih diberi kesempatan untuk menikmati dunia ini. Dan mungkin, ketika aku menulis ini, aku sedang membangun ingatan kecil yang kelak akan kucari kembali, saat aku butuh alasan untuk tersenyum.
Jadi, begitulah perjalananku hari ini. Bukan kisah besar, bukan petualangan luar biasa, tapi bagiku cukup berarti. Karena hidup memang tidak selalu tentang sampai ke tujuan, kadang ia hanya tentang keberanian untuk melangkah, satu demi satu, meski pelan, tapi pasti. Dan aku percaya, langkah kecil yang jujur akan selalu lebih berharga daripada lompatan besar yang hampa.
Minggu depan, aku akan berjalan lagi. Entah ke mana, aku serahkan pada hati dan arah kaki.
Malang, 31 Agustus 2025










Share this content:
Post Comment