My Diary Chapter 2 : Berbagi Cerita

Kisah Di Puncak Bromo

Hai,

Apa kabar kamu di sana? Semoga senyum yang selalu mas rindukan itu tetap terukir indah di wajahmu hari ini, meski mas tidak bisa menyaksikannya secara langsung. Mas bayangkan saja senyum itu, seperti cahaya kecil yang mampu menyalakan langit paling gelap dalam hati mas. Kamu habis jalan sehat ya? Mas bisa membayangkan langkah-langkah kecilmu yang ringan, seperti embun pagi yang menetes perlahan dari ujung dedaunan, seolah bumi bersyukur karena pernah dilewati oleh pijakanmu. Semoga tubuhmu sehat, harimu lapang, dan hatimu tetap hangat, sebab itu doa yang selalu mas titipkan pada angin setiap kali mas merindukanmu.

Hari ini mas ingin bercerita, mungkin cerita sederhana saja, tapi entah kenapa, rasanya cerita itu baru berarti jika mas bagikan padamu. Karena apa pun yang mas jalani, sekecil apa pun, selalu terasa hampa kalau tidak mas sertakan dirimu di dalamnya, meski hanya lewat ingatan, doa, atau sebingkai foto yang tersimpan di saku. Kamu tahu, perjalanan itu sejatinya hanya deretan langkah, tetapi ketika mas coba membayangkan kamu berjalan di samping mas, perjalanan itu berubah menjadi sebuah kisah. Lucu ya, hanya dengan menambahkan bayanganmu, semuanya terasa lebih hidup.

Baca Juga : My Diary Chapter 1 : Titipan Rindu Dari Kota Malang

Pagi ini, atau lebih tepatnya dini hari, mas memulai sebuah perjalanan kecil. Tujuannya sederhana—Bromo. Gunung yang katanya menyimpan seribu pesona, yang puncaknya menjadi altar tempat matahari menari. Mas sebenarnya bukan tipe yang suka bepergian sendirian, apalagi ke tempat yang seindah ini. Tapi entah kenapa, keinginan untuk menyibukkan diri membuat mas nekat. Niat awalnya mau ajak teman, tapi ternyata mereka semua menolak, dengan alasan ini dan itu. Ya sudah, akhirnya mas pilih ikut open trip, bareng orang-orang yang tidak mas kenal.

Jam menunjukkan hampir tengah malam saat rombongan berangkat. Langit masih gelap pekat, udara dingin mulai menusuk tulang, tapi entah kenapa hati mas terasa hangat, mungkin karena bayanganmu yang terus menemani. Mas sering berpikir, seandainya kamu ada di kursi sebelah, mungkin perjalanan malam itu tidak hanya dipenuhi kantuk, tapi juga percakapan kecil yang menumbuhkan rasa. Bayanganmu duduk di samping mas, sesekali menyandarkan kepala di bahu, lalu tertidur karena lelah—ah, membayangkan saja sudah membuat mas tersenyum sendirian.

Sesampainya di kaki gunung, udara dinginnya langsung menyergap. 7 sampai 9 derajat, begitu kata sopir jeep yang membawa kami. Dinginnya memang menusuk, tapi anehnya mas suka, mungkin karena dingin itu mengingatkan mas pada kamu. Kamu tahu, ada dingin yang bikin menggigil, ada pula dingin yang bikin hati hangat. Dan kamu—kamu itu seperti dingin jenis kedua, dingin yang justru mas cari, karena dalam dinginmu ada sesuatu yang membuat mas betah berlama-lama.

Ketika fajar mulai menjelang, mas naik perlahan bersama rombongan. Jalannya tidak terlalu mudah, tapi mas menikmatinya. Ada rasa capek, ada rasa ingin berhenti, tapi setiap kali itu muncul, mas teringat wajahmu. Seolah kamu berdiri di ujung jalan sambil tersenyum, menunggu mas datang. Rasanya seperti kamu yang memberi alasan kenapa mas harus terus melangkah.

Baca Juga : Monolog Hati Episode 33 : Happy 366 Days !

Lalu tibalah momen itu—matahari muncul dari balik cakrawala. Cahaya oranye keemasan perlahan membelah langit gelap, menyulap awan jadi lautan perak yang berkilauan. Barisan pegunungan menjulang bak lukisan yang digoreskan tangan Tuhan sendiri. Cantik sekali. Begitu cantik sampai mas kehabisan kata. Tapi anehnya, meski seindah itu, mata mas tetap mencari sesuatu yang lain: kamu. Rasanya percuma menyaksikan matahari paling indah kalau tidak bisa menunjukkannya langsung padamu.

Mas ingin kamu tahu, sunrise itu mengingatkan mas padamu. Kamu seperti mentari—meski mas harus menunggu lama dalam dingin dan gelap, ketika akhirnya kamu muncul, semua penantian itu terasa layak. Kamu juga seperti cahaya itu, menghangatkan sekaligus menenangkan, indah tapi tak menyilaukan, hadir sebentar namun membekas lama.

Setelah puas memandangi sunrise, mas berjalan-jalan di sekitar gunung. Pemandangan begitu luas, langit biru berpadu dengan hamparan pasir dan tebing-tebing gagah. Di sela-sela perjalanan, mas menemukan bunga edelweiss. Katanya bunga itu simbol keabadian, tumbuh di ketinggian, tahan dalam kerasnya cuaca. Mas langsung teringat padamu. Kamu tahu, kamu itu seperti edelweiss bagi mas—tidak mudah didapat, berdiri anggun di tempat yang tinggi, tapi kehadiranmu memberi makna tentang kesetiaan. Andai bisa, mas ingin memetik bunga itu dan memberikannya langsung padamu, sebagai tanda bahwa rasa ini juga ingin bertahan selamanya.

Mas juga sempat mencicipi jajanan di sekitar situ. Hangatnya wedang jahe, Sedapnya mie instan ditambah telur, semua terasa lebih nikmat karena mas membayangkan kamu duduk di seberang, meniup mie mu yang masih panas, lalu tersenyum puas setelah gigitan pertama. Ah, membayangkanmu saja sudah cukup membuat makanan sederhana terasa istimewa.

Sejujurnya, perjalanan ini melelahkan. Kaki pegal, tubuh menggigil, mata mengantuk karena kurang tidur. Tapi mas suka. Mas suka karena di setiap langkah, mas bisa menyisipkan namamu. Kamu tahu, capek jadi terasa ringan kalau di dalamnya ada kamu. Seperti gunung ini, meski jalannya terjal, puncaknya selalu menjanjikan pemandangan indah. Begitu juga dengan mencintaimu—meski ada jarak, meski ada luka, mas percaya selalu ada keindahan di ujungnya.

Mas tidak tahu kapan kita benar-benar bisa jalan-jalan bersama. Tapi mas yakin suatu hari nanti, Tuhan akan mengizinkan mas menggenggam tanganmu, mengajakmu menapaki jalanan gunung, atau sekadar duduk berdampingan menyaksikan sunrise. Hari itu pasti datang, entah cepat atau lambat. Dan sampai waktu itu tiba, biarkan mas menyimpan rindu ini, seperti menabung cahaya matahari di dalam hati, agar suatu hari bisa mas hadiahkan padamu.

Love you, selalu.

Sampai ketemu di waktu yang mas tunggu.

Malang, 24 Agustus 2025

Share this content:

Hanya pengagum pena dan aksara, menelusuri jejak makna dalam setiap kata. Menyukai sunyi yang berbicara lewat tulisan, tanpa ambisi, hanya ingin merasa dekat dengan cerita.

Post Comment