×

My Diary Chapter 11 : Terjebak

My Diary Chapter 11 : Terjebak

Hari ini aku kembali menulis, entah untuk keberapa kalinya aku mencoba menuangkan isi hati ini ke dalam lembaran yang sebenarnya sudah penuh dengan goresan perasaan. Aku menulis bukan karena aku ingin terlihat puitis, bukan pula karena aku ingin dikenang melalui kata-kata, melainkan karena aku sudah kehabisan cara untuk melawan sesak ini. Rasa rindu yang menumpuk seperti ombak yang tak henti-hentinya menghantam karang, keras, berulang, dan meninggalkan luka pada dinding hati yang sudah rapuh. Aku butuh tempat untuk bercerita, tapi kepada siapa? Aku bukan tipe orang yang mudah membuka luka kepada orang lain, karena aku tahu, kebanyakan orang hanya mendengar tanpa benar-benar memahami. Maka aku memilih untuk bercerita pada kertas kosong ini, pada tinta yang mungkin akan menjadi saksi betapa lemahnya aku di hadapan rasa rinduku padanya.

Baca Juga : My Diary Chapter 10 : Hati yang Tertinggal

Aku merindukannya. Ya, aku kembali terjebak dalam pusaran rindu yang tak kunjung reda. Setiap hari, aku memang selalu merindukannya, tapi hari ini terasa berbeda. Seperti ada yang meremas dadaku dari dalam, seperti ada beban yang menekan dan membuatku kesulitan bernapas. Aku rindu, bukan rindu yang biasa, melainkan rindu yang membuatku hancur perlahan. Hari-hariku menjadi berantakan, pikiranku kacau, emosiku naik turun seperti ombak liar yang menghantam tanpa kendali. Aku menjadi ceroboh, kehilangan fokus, bahkan pekerjaan yang biasanya bisa kuselesaikan dengan mudah kini terasa begitu berat. Rasanya, setiap helaan napas selalu terikat oleh satu nama—namanya.

Aku mencoba menyibukkan diri, tapi semua sia-sia. Buku yang sedang kutulis terbengkalai, tulisanku mandek seperti sungai yang tiba-tiba berhenti mengalir. Tanganku ingin menari di atas papan ketik, tapi pikiranku selalu berbelok, menabrak tembok yang namanya adalah dia. Aku ingin menulis tentang dunia, tentang kehidupan, tentang apa saja yang bisa mengalihkan pikiranku, tapi huruf-huruf yang keluar hanya menjelma jadi potongan rindu yang terikat pada dirinya. Aku jenuh, sangat jenuh. Aku seperti terjebak dalam ruang sempit yang dindingnya penuh dengan bayangan wajahnya. Ke mana pun aku memandang, hanya ada dia, hanya ada senyumnya, hanya ada sorot matanya yang selalu menjeratku untuk kembali jatuh dalam ruang kerinduan yang sama.

Malam-malamku pun tak lagi tenang. Tidurku diganggu oleh mimpi tentangnya, seolah-olah semesta sengaja memutar ulang kisah yang pernah ada. Dalam mimpi, aku melihatnya tersenyum, duduk tak jauh dariku, seakan-akan nyata. Namun ketika aku terbangun, yang tersisa hanya perasaan hampa, seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang sangat berharga dari genggamannya. Bayangannya selalu hadir, menghantui, seakan tak rela membiarkanku hidup tanpa dirinya. Dan lebih menyakitkan lagi, dalam tiap sujudku, aku merasa bersalah. Aku tahu seharusnya yang kupikirkan hanyalah Tuhanku, namun justru wajahnya yang muncul, menyingkap tirai benakku dengan begitu tiba-tiba. Air mata jatuh, bukan hanya karena aku merasa berdosa, tapi juga karena aku benar-benar merindukannya.

Baca Juga : My Diary Chapter 9 : Mendung

Rindu ini seperti samudra luas yang menenggelamkanku ke dasar tanpa memberi kesempatan untuk menghirup udara. Aku berusaha berenang ke atas, tapi semakin aku melawan, semakin dalam aku ditarik. Sesak. Sangat sesak. Aku ingin berteriak, namun suara ini tercekat dalam kerongkongan. Aku ingin melarikan diri, namun rantai rindu menahan kakiku agar tetap di tempat. Aku ingin bebas, tapi ternyata aku sendiri yang diam-diam tak mau lepas darinya.

Setiap kali aku teringat padanya, hatiku bergetar hebat. Seperti senar gitar yang dipetik terlalu keras, menghasilkan suara nyaring yang menusuk telinga. Aku bergetar, mataku panas, lalu air mata jatuh tanpa bisa kutahan. Entah sudah berapa kali aku meneteskan air mata karena merindukannya, entah sudah berapa malam mataku sembab karena bayangannya. Aku, laki-laki yang mungkin terlihat tegar di luar, ternyata begitu rapuh di dalam hanya karena satu nama, satu wajah, satu perempuan yang entah sadar atau tidak, telah menjadi bagian yang tak tergantikan dalam hidupku.

Kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah rindu ini sehat? Apakah wajar aku sampai kehilangan kendali hanya karena seseorang? Atau mungkin aku memang terlalu bodoh, terlalu naif, terlalu menaruh hati pada tempat yang salah? Namun setiap kali aku mencoba meyakinkan diriku untuk berhenti, bayangan wajahnya justru hadir dengan lebih jelas, seakan sedang mengejek, seakan berkata, “Kamu tidak akan pernah bisa benar-benar melupakanku.” Dan sialnya, aku tidak bisa menyangkal itu.

Aku rindu caranya berbicara, rindu caranya tertawa, bahkan rindu pada tatapan matanya yang seakan bisa menelanjangiku hingga ke dasar jiwa. Aku rindu bahkan pada hal-hal kecil yang dulu mungkin sering kuanggap biasa: cara ia memalingkan mata, cara ia berjalan, bahkan cara ia diam. Semua tentangnya kini menjelma jadi hantu yang selalu menemaniku, hantu yang tak menakutkan, tapi justru menyiksa.

Baca Juga : My Diary Chapter 8 : Rintik Rindu

Kadang aku merasa seperti orang gila, berbicara sendiri, tertawa sendiri ketika mengingat momen kecil bersamanya. Namun dalam sekejap, tawa itu berubah jadi tangis. Begitu cepat, seperti langit cerah yang tiba-tiba disambar badai. Aku merasa tubuhku melemah, kakiku goyah, hatiku remuk, tapi aku tetap berjalan membawa beban ini. Rindu ini adalah pedang bermata dua—di satu sisi membuatku merasa hidup karena masih bisa merasakan cinta, di sisi lain membunuhku perlahan karena cinta itu tak pernah sampai.

Aku menulis ini dengan harapan bebanku sedikit berkurang, meski aku tahu sebenarnya tidak. Kata-kata hanya seperti obat sementara yang menenangkan sesaat, lalu rasa sakit itu akan kembali menyerang lebih kuat. Namun aku tetap menulis, karena aku tak punya cara lain untuk menyalurkan sesak ini. Aku ingin berteriak pada dunia bahwa aku merindukannya, tapi yang keluar hanya bisikan lirih dalam tulisan ini: aku merindukanmu, wahai gadis pujaanku.

Andai saja ia tahu betapa besar kerinduan ini. Andai saja ia bisa mendengar isi hatiku tanpa aku perlu mengucapkannya. Andai saja ia tahu betapa aku hampir kehilangan diriku sendiri hanya karena kehilangan dirinya. Tapi aku juga sadar, dunia tidak bekerja seperti itu. Tidak semua doa tentang rindu akan sampai pada telinga yang dituju. Tidak semua perasaan akan menemukan rumahnya. Dan mungkin, aku adalah salah satu orang yang harus belajar menerima bahwa cinta kadang hanya sebatas rasa, tidak pernah menjadi nyata.

Baca Juga : My Diary Chapter 7 : Kilometer Rindu

Namun meski aku tahu itu, aku tetap merindukannya. Meski aku sadar mungkin tak ada kesempatan lagi, aku tetap berharap. Meski aku sering hancur oleh kenyataan, aku tetap kembali berdiri hanya untuk kembali jatuh karena rindu yang sama. Aku ini seperti burung yang terjebak dalam sangkar, meski pintunya terbuka, aku tetap memilih tinggal di dalam, karena di luar sana terlalu asing tanpa dirinya.

Aku, dengan segala kelemahanku, hanya bisa menutup catatan ini dengan satu kalimat sederhana, kalimat yang telah berulang kali kutulis, kalimat yang selalu menjadi akhir dari setiap renungan panjangku:

Aku merindukanmu. Wahai gadis pujaanku.

Malang, 30 September 2025

“Aku menangis dalam sujudku, bukan hanya karena merasa bersalah, tetapi juga karena aku terlalu merindukannya.”

Share this content:

Hanya pengagum pena dan aksara, menelusuri jejak makna dalam setiap kata. Menyukai sunyi yang berbicara lewat tulisan, tanpa ambisi, hanya ingin merasa dekat dengan cerita.

Post Comment