Story Edelweiss - Bahasa Banyumasan merupakan bahasa jawa yang dipakai oleh masyarakat di wilayah eks-karesidenan Banyumas dan eks-karesidenan Pekalongan. Wilayah eks-karesidenan Banyumas biasanya disebut dengan menggunakan akronim “BARLINGMASCAKEB” yang meliputi Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, dan Kebumen, sementara untuk eks karesidenan pekalongan terdiri dari Kabupaten Tegal, Brebes, Pemalang, Batang, dan Pekalongan. Dialek banyumasan juga dipakai oleh sebagian masyarakat Cirebon dan penduduk di Provinsi Jawa Barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah, meskipun sudah tercampur dengan bahasa sunda. Ahli bahasa menyatakan bahwa bahasa banyumasan sebagai turunan asli dari bahasa jawa kuno. Informasi lebih lanjut dapat kita pelajari dengan membaca buku dari H. Budiono Herusantoto yang berjudul “Banyumas : Budaya, Sejarah, Bahasa dan Watak”
Budiono menuliskan bahwa bahasa jawa yang digunakan oleh masyarakat Solo, Jogja ,dan sekitarnya termasuk kedalam bahasa jawa baku. Dimana bahasa ini sebenarnya sudah melewati lima tahap perkembangan yang muncul sejak zaman pujangga baru pada abad ke delapan belas, sedangkan bahasa banyumasan adalah bahasa jawa tahap awal, atau tahap bahasa jawadwipa, yang konon adalah bahasa jawa murni.
Kamu udah paham bedanya kan?
Gini, yang khas dari bahasa Banyumasan adalah banyak bunyi vokal “ a ” terutama di bagian akhir kata. sementara di bahasa jawa baku, bunyi “ a ” itu berubah menjadi “ o ”. misalnya, di Purbalingga orang ingin makan “ sega ” atau nasi, sementara di solo menyebutnya “ sego ”, atau di Cilacap angka sembilan disebut “ sanga ”, sedangkan di Jogja berubah menjadi “ songo ”.
Perbedaan yang lain juga terletak pada intonasi atau cara pengucapan. Dalam bahasa banyumasan, konsonan “ G ”, “ K ”, “ D ” dan “ B ” diucapkan dengan keras dan jelas. Sementara di bahasa jawa baku lebih samar-samar, contohnya ketika orang banyumas mengucapkan “ KRETEG ” akhiran G-ya akan dibaca secara jelas. sementara kalau di solo intonasinya berubah menjadi “ KRETEK ”.Begitu juga akhiran “K” di kata bapak yang dibaca jelas oleh orang Banjarnegara tapi tidak untuk yang Jogja.
Ok pertanyaannya? Kenapa bahasa banyumasan tetap mengikuti kaidah bahasa jawa kuno sementara bahasa jawa baku mengalami perubahan?
Ternyata faktornya adalah kemunculan kerajaan-kerajaan di pulau jawa.
Sekarang kita kutip yang ditulis oleh G. Moedjanto yang berjudul “Konsep Kekuasaan Jawa : Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram” di situ dijelaskan bagaimana kerajaan kerajaan di pulau jawa memunculkan kultur feodalisme, atau sistem sosial yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan dan para pemilik tanah.
Pada tahun 1586 sampai tahun 1755 kerajaan Mataram menguasai mayoritas pulau jawa termasuk wilayah banyumas dan sekitarnya dengan pusat pemerintahan di yogyakarta dan Surakarta. Nah Kerajaan Mataram sadar kalau kekuasaan itu tidak hanya dibangun dari militer, tapi juga dari bahasa. Oleh karena itu, mereka mengembangkan dialeknya sendiri, yaitu dialek mataram yang menjadi cikal bakal terbentuknya bahasa jawa baku.
Tujuannya apa?
Tujuannya adalah untuk membedakan bahasa di lingkungan keraton yang lebih elit, dengan bahasa di luar lingkungan keraton. Dimana dalam proses perkembangannya penduduk di dekat pusat kerajaan mengadopsi dialek Mataram itu.
Nah lalu kenapa penduduk di Banyumas dan sekitarnya tidak mengadopsi dialek tersebut juga? ya karena mereka jauh dari pusat kerajaan, jadinya mereka mengembangkan dialeknya sendiri. Hal ini adalah kondisi yang terwakili oleh ungkapan orang Banyumasan, yaitu “Adoh Ratu, Cedhak Watu” atau jauh dari penguasa dekat dengan batu, dimana yang dimaksud adalah mereka jauh dengan rajanya baik secara geografis maupun interaksi budaya.
Bahasa jawa Banyumasan juga punya karakteristik yang khas, misal dialek mataram dianggap lebih halus sedangkan dialek banyumasan dianggap lebih keras dan kasar. Tapi kasar yang dimaksud bukan berkonotasi negatif ya, melainkan lebih ke sifat yang blak-blakan, terbuka, dan lebih egaliter. Seperti yang orang Banyumasan sebut sebagai “ cablaka ” atau “ Blakasutra ”.
Sayangnya dalam perkembangannya, anggapan kasar itu juga kadang menimbulkan konotasi negatif sampai membuat para penuturannya kadang enggan untuk memakai bahasa sendiri, atau minimal menyembunyikan logatnya, karena sering jadi bahan candaan.
Fenomena itu sudah banyak dibahas diberbagai diriset tentang “Identitas Orang Ngapak”, atau soal karakteristik penutur bahasa banyumasan di artikel ilmiah “Ngapak dan Identitas Banyumasan”. Menurut dua sumber itu, bahasa jawa banyumasan merupakan salah satu bahasa daerah yang sedang terancam. Sebagian penuturannya merasa tidak percaya diri, karena bahasa ini mendapatkan stigma katro, ndesok atau gak modern.
Kenapa? ada banyak factor.
Salah satunya karena media sering menampilkan orang Ngapak sebagai objek komedi terutama di acara acara televisi. begitu juga celetukan seperti “ Cantik Cantik Kok Ngapak ” atau “ Gantengnya Berkurang Loh Kalau Ngomong Ngapak ” sebuah kondisi yang sangat disayangkan ya. Untuk kamu yang Ngapak pernah enggak kena shaming gara gara dialekmu itu? Coba share di kolom komentar ya terima kasih sudah membaca artikel ini.