Emile Durkheim
Durkheim dilahirkan di Epinal
Perancis pada 1858 dari keluarga Yahudi, ayahnya Rabi. Studi di Ecole Superieure
di Paris. Dari 1887 sampai 1902 menjadi guru besar dalam ilmu-ilmu sosial di
Bordeaux. Pada masa tersebut ia berhasil menulis buku yang monumental, yaitu
tentang The Division of Labor in Society, The Rules of
Sociolgical Method, dan Suicide. Setelah itu ia pindah ke
Universitas Sorbonne di Paris. Pada masa ini, ia kembali menerbitkan buku The Elementary Forms of the Religious Life.
Berbeda dengan Karl Marx, sumbangan Emile Durkheim menekankan sisi yang berbeda
dalam melihat realitas. Adapun karya-karya utama yang sering dirujuk oleh para
ahli sosiologi dari Emile Durkheim, adalah sebagai berikut:
- The Division of Labor in Society (1893)
- The Rules of Sociological Method (1895)
- Suicide (1897)
- The Elementary Forms of the Religious Life (1912)
Untuk memisahkan sosiologi
dari filsafat sosial dan menguatkan sosiologi sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan yang mandiri, maka Emile Durkheim menulis The Rules of Sociological Methods untuk
menegaskan bahwa sosiologi
merupakan ilmu yang mempelaiari fakta sosial. Batasan yang
dikemukakan Durkheim tersebut tidak dengan sendirinya bisa dipahami sebelum
diterangkan apa yang dimaksud dengan konsep ilmu dan fakta sosial.
a. Konsep
Ilmu
Konsep ilmu dimaksud di sini
adalah ilmu pengetahuan (sains/ science). Pada masa Durkheim, sosiologi
masih melekat pada filsafat, khususnya filsafat sosial, sehingga ada gerakan
dari berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu-ilmu sosial, untuk melepaskan diri
dari filsafat tersebut. Dalam kerangka itulah Durkheim mendeklarasikan sosiologi
sebagai ilmu yang mempelajari fakta sosial. Pandangan Durkheim tersebut
dipengaruhi oleh positivisme. Apa itu positivisme? Konsep positivisme, dikenal
juga dengan metode positif, digagas pertama kali oleh Henri de Saint Simon
(Laeyendecker, 1983; 137). Metode positif menunjuk pada pendekatan terhadap
pengetahuan empirik. Menurut pendekatan ini, semua yang kita tahu akhirnya
berasal dari pengalaman indriawi atau data empirik (Johnson, 1986: 26). Metode
positif ini selanjutnya dikembangkan oleh Auguste Comte, dikenal juga sebagai
Bapak Sosiologi. Comte, seperti yang dikatakan Laeyendecker (1983: 145),
mengemukakan beberapa karakteristik dari metode positif, yaitu:
pertama, metode positif memiliki pengertian
bahwa metode ini diarahkan kepada fakta-fakta dan tidak kepada misteri-misteri
yang tidak dapat diketahui.
Kedua, metode ini mengarahkan perhatian
kepada hal-hal yang bermanfaat, yaitu untuk perbaikan berkelanjutan dari
persyaratan kehidupan, dan dengan demikian berlawanan dengan metode yang hanya
membantu untuk memberi kepuasan kepada kehendak keingintahuan semata. Ketiga, metode ini berusaha ke arah
kepastian. Keempat, metode ini berusaha ke arah
kecermatan. Jadi, lanjut Laendecker, metode positif merupakan pengetahuan
tentang fakta-fakta yang pasti, cermat, dan berguna.
Para penganut positivisme
percaya bahwa masyarakat atau kehidupan sosial merupakan bagian dari alam.
Adapun alam itu sendiri dipandang memiliki hukum-hukumnya sendiri yang bersifat
universal, misalnya hukum Boyle, hukum gravitasi, dan lain sebagainya. Karena
masyarakat atau kehidupan sosial merupakan bagian dari alam, maka dapat pula
ditemukan hukum-hukum masyarakat atau kehidupan sosial yang bersifat
universival pula, berlaku pada semua ruang dan waktu. Untuk menemukan hukum
masyarakat atau kehidupan sosial yang universal tersebut, teknik, cara atau
metode yang dimiliki oleh ilmu pengetahuan alam dapat pula digunakan. Adapun
metode positif yang digunakan untuk menemukan hukum universal tersebut berupa
observasi (pengamatan), komparasi (perbandingan), eksperimen, dan metode
historis.
Kembali kepada konsep ilmu,
apa sebenarnya yang dipahami sebagai ilmu? Apa saja suatu pokok persoalan
kajian dapat dikatakan sebagai suatu ilmu? Untuk memahami itu perlu kiranya merujuk
apa saja sebenarnya karakteristik ilmu? Berikut beberapa karakteristik ilmu:
Empiris
Karakteristik empiris dipahami
sebagai sesuatu yang didasarkan atas pengamatan (observasi) dan penalaran.
Pengamatan menunjuk pada penggunaan pancaindra dalam memahami dan mengalami kehidupan,
termasuk kehidupan sosial. Adapun penalaran berkaitan dengan penggunaan akal
budi (rasio) manusia. Sehingga hasil kegiatan empiris ini tidak dipandang
sebagai suatu hal yang spekulatif, karena kegiatan empiris selalu dikaitkan
dengan fakta dan data. Bagaimana kita memahami hal ini?
Mari kita ambil sebuah contoh.
Masyarakat Tionghoa di Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki jiwa
wiraswasta (enterpreneurship). Pernyataan ini
bersifat empiris. Kenapa? Kalau kita melancong ke berbagai penjuru kota
menengah dan besar di Nusantara ini, maka akan ditemukan komunitas Tionghoa yang
bergerak dalam bisnis, terutama perdagangan. Kenapa jiwa wiraswasta dimiliki
oleh masyarakat Tionghoa? Jika ditelusuri jauh ke dalam komunitas Tionghoa
tersebut ternyata ditemukan kenyataan bahwa terdapat kecenderungan keluarga
Tionghoa tinggal di rumah toko (ruko).
Dengan tinggal di ruko, antara
dunia kerja dengan dunia keluarga dan kerumah tanggaan tidak terpisah secara
tegas. Pada saat seorang anggota keluarga bekerja di toko, yaitu bagian
terbawah dari bangunan yang dimiliki, sebenarnya, aktivitasnya terkait dengan
aktivitas anggota lainnya yang berada pada bagian lain bangunan yang disebut
dengan tempat tinggal. Demikian juga dengan generasi muda dari keluarga tersebut
belajar tentang berbagai dunia kehidupan secara sekaligus, yaitu antara dunia
kerja dan dunia keluarga dan kerumahtanggaan. Ketika sang anak baru bangun
tidur, suasana dan situasi yang pertama dike- nalinya adalah ibu dan kakaknya
yang sibuk di dapur serta ayah dan abangnya yang sedang sibuk melayani pembeli.
Teoretis
Ilmu ditandai dengan abstraksi
yang disusun dari hasil pengamatan dan penalaran yang telah dilakukan.
Abstraksi tersebut disusun secara logis, sistematis, serta bertujuan
untukmenjelaskan hubungan-hubungan sebab akibat, sehingga menjadi teori. Mari
kita lanjutkan contoh keluarga Tionghoa di atas. Realitas yang digambarkan di
atas, yaitu proses belajar anak Tionghoa tentang dunia kerja dan dunia keluarga
dan kerumahtanggaan tersebut di atas dapat kita abstraksikan sebagai realitas
sosialisasi. Karena sosialisasinya berkait dengan dunia bisnis, maka kita bisa
menyusun teori atas kenyataan tersebut sebagai berikut: “sosialisa- si keluarga
menentukan jiwa wiraswasta (enterpreneurship) dari anak Tionghoa”.
Kumulatif
Ilmu bersifat kumulatif
berarti teori dibangun atas teori-teori yang berkembang sebelumnya. Dengan kata
lain, teori-teori yang ada (lama) diperhalus, dipertajam, dikembangkan,
dimodifikasi, dan disempurnakan atas kenyataan empiris yang baru. Mari kembali
lagi bersama contoh di atas. Ternyata, kesempatan yang dibatasi oleh aturan
perundangan yang diciptakan oleh pemerintahan kolonial Belanda dilanjutkan oleh
pemerintahan Republik Indonesia. Masyarakat Tionghoa tidak diizinkan untuk
melakukan pekerjaan kepemerintahan, seperti pegawai pemerintahan sipil, polisi,
tentara, dan lainnya. Jadi, hanya bisnis satu-satunya dunia yang tersedia bagi
komunitas Tionghoa sebagai pekerjaan. Maka, teori sebelumnya dipertajam
menjadi “jiwa wiraswasta (ienterpreneurship) orang Tionghoa
dipengaruhi oleh kesempatan yang tersedia dan sosialisasi dalam keluarga”.